Jakarta, (Zonasatu) - Memilih materi khotbah dan menentukan nama penceramah di masjid pada saat ini tentunya menjadi problem besar bagi pengurus masjid. Hal ini dikhawatirkan materi yang akan disampaikan penceramah dapat tersusupi paham radikal dan juga intoleransi. Apalagi beberapa hari terakhir ini muncul pemberitaan mengenai masjid-masjid di lingkungnan instansi pemerintah baik di Kementerian, Lembaga negara ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berdasarkan hasil survei dan penelitan yang dilakukan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), isi dari khotbahnya dikabarkan mengandung konten radikal dan intolerasni
“Memang
saat ini yang menjadi problem terbesar dari pengurus masjid adalah memilih dan menseleksi para penceramah
atau pengkhotbah. Ketika Kementerian Agama mencoba untuk me-list dan memberikan
rekomendasi penceramah tentunya saat itu mendapatkan kritikan dari banyak
pihak. Karena memang banyak orang-orang yang penceramah terbaik katanya tidak
mendapat dalam rekomendasi itu, lalu mereka protes,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, di Jakarta, Kamis (29/11/2018)
.
Padahal
menurutya, sebenarnya ada baiknya juga ketika Kementerian Agama mengeluarkan rekomendasi
tersebut. Karena hal tersebut tentunya akan menjadi guideline atau panduan bagi
para pengurus masjid untuk dapat menentukan siapa penceramah yang akan mengisi
khotbah di masjid yang di kelolanya
“Dengan
tidak adanya daftar list penceramah yang direkomendasikan tentuya pengurus
masjid saat ini tidak bisa screaning mengenai apa sih yang akan disampaikan
oleh penceramah tersebut dalam khotbahnya nanti. Ttiba-tiba penceramah itu
langsung berbicara saja dalam khotbahnya di mimbar dan pengurus masjid sebelumnya tidak tahu materi yang akan
disampaikan dan ternyata yang disampaikan penceramah itu sedikit masuk
domain-domain radikalisme dan sebagainya,” ujar praih gelar Doktoral dari McGill University, Kanada ini.
Masalah
lain menurut Dede, ketika harus membuat kriteria sampai di mana batas materi itu mengatakan sesuatu yang sudah masuk
kategori radikalisme atau tidak. Untuk
itulah perlu ada kesepakatan naik dari organisasi islam dan dikeluarkan oleh
instansi yang berkewenangan, tentunya dari Bimas Islam Kementerian Agama dalam
membuat kriteria tersebut
“Sehingga
nantinya akan ada gambaran untuk membandingkan misalnya ketika ada penceramah A
memberikan khotbahnya bagus, lalu penceramah B berbicara begini, lalu penceramah C berbicara
di mimbar seperti mengandung unsur radikal atau intoleransi sehingga tidak
direkomendasikan lagi kedepannya,” ujar pria pria kelahiran Ciamis, 5 Oktober 1957 ini.
Menurutnya
kalau pengurus masjid sudah mengetahui ada penceramah menyampaikan materi
khotbah yang mengandung radikalisme dan intolerasi maka sudah seharusnya
pengurus masjid tersebut tidak memberikan tempat lagi bagi penceramah tersebut
untuk menyampaikan materi khotbahnya. “Jadi seleksinya seperti itu. Dan
tentunya hal itu juga perlu disampaikan pula kepada penegurus masjid yang lain
atau di list bahwa penceramah tersebut materi ceramahnya seperti apa,” katanya
Dirinya
megungkapkan jika penceramah tersebut memberikan ceramah yang cenderung radikal
dan intoleransi sebenanrya dampaknya tidak terlalu besar jika audiencenya
adalah masyarkat akademik, atau masyarakat yang berpendidikan tinggi, karena
mereka tentunya bisa menyaring. Karena tidak semua isi ceramah itu bisa
terpahami konteksnya, orientasinya dan
juga terpahami oleh masyarakat.
“Cuma
kalau sering dikatakan, lalu dikatakan lagi di ceramah berikutnya tentunya akan
menjadi tidak nyaman juga bahwa di negara ini seperti menjadi negara yang
sangat membiarkan dengan radikalisme dan intoleransi. Itu yang sebenarya tidak
nyamannya disitu,” ujanrya
Lalu
yang tidak baiknya ketika hal tersebut dibiarkan terus menerus kemudian
negara-negara atau bangsa dunia lain melihat, bukan tidak mungkin bangsa lain menilai
Indonesia ini seperti memberikan toleransi terhadap tindakan-tindakan atau
pemahaman terhadap radikalisme.
“Jadi
memang jika bicara di depan publik itu
lebih baik bicara yang tidak menjurus kepada radikalisme atau intoleransi. Karena
negara lain akan melihat dan menilai jelek terhadap bangsa ini jika memberikan
khotbah mengandung unsur radikalisme dan
intoleransi. Karena bangsa kita ini selama ini dikenal dengan sikap manuasianya
yang ramah” ujarnya.
Selain
itu yang menjadi masalah besar lainnya ketika audience atau umat yang
mendengarkan khotbah dari penceramah yang mengandung unsur radikal itu adalah pemahaman
agamanya masih sangat dangkal dan tidak
mendalami secara komprehensif.
“Itu
dia problemnya jika memang audiencenya itu belum begitu paham agama, dan tentunya hal itu akan sangat berbahaya
sekali. Apalagi jika audience itu baru memulai mempelajari agama, lalu dapatnya
isu-isu seperti radikalisme itu menurut saya agak sedikit rawan terpapar paham
radikal. Tentunya ini beda kalau memang sekolahnya di agama dan dapat
pendidikan dan pemahamaman agama yang banyak pasti pendidikan agamnya lebih komprehensif
dan lebih bisa memahami,: ujarnya.
Dirimya
juga berharap organisasi keagamaan untuk berinisiatif mendorong pentingnya
membuat pedoman khotbah yang lebih mendidik yang dapat, mencerdaskan masyarakat dan penuh nuansa
perdamaian agar masyarakat kita ini tidak terpecah dan umat sendiri terbentengi
dari paham radikal. Namun hal ini bukanlah untuk membuat kurikulum khusus untuk
khotbah, melainkan lebih kepada pedoman khutbah.
“Mungkin
lebih baik menurut saya bukan kurikulum khotbah, tetapi guideline (pedoman)
khotbah. Dulu saya pernah membuat disebutnya materi dakwah terurai. Materi
dakwah terurai tu menjelaskan temanya apa, bicaranya apa dan arahnya kemana dan
ilustrasinya seperti apa, hanya satu halaman. Nanti bisa dipakai oleh chotib
atau penceramah sebagai pedoman untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada
para umat atau jamaahnya berbicara di mimbar,” ujar mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan
Islam, Kementerian Agama RI ini.
Kementerian
Agama melalui Bimas Islamnya sendiri menurutnya seharusnya bisa juga untuk
mengaplikasikan dan memberikan pedoman materi dakwah terurai seperti itu agar bisa
dijadikan panduan untuk para penceramah ketika mereka ingin berceramah di
publik. Karena hal ini sebagai upaya untuk melindungi masjid dan juga
membentengi para unat agar tidak mudah terpapar paham-paham radikal oleh
penceramah yang suka berbicara radikal dan intoleransi
“Mungkin
kalau memberikan regulasi terlalu supresif dan strutruralistik, tetapi lebih
kepada memberikan pedoman kepada masyarakat baik dalam konteks media dakwah
verbal, dakwah terurai dan sebagainya. Lalu kemudian juga memberikan buku atau
buclet kecil kepada pengurus masjid yang menjelaskan bahwa radikalisme itu
indikatornya ini dan sebagainya. Dan tentunya ini juga merupakan bagian untuk
melindungi umat juga agar tidak terpapar paham radikal,” ujarnya mengakhiri
***
Penulis : -
Sumber : -
Penulis : -
Sumber : -
No comments:
Post a Comment