Jakarta, ZONASATU - Peristiwa Hijrah selama ini dipilih sebagai titik tolak penentuan
kalender dalam Islam. Karena momentum
ini merupakan sejarah yang mengawali lahirnya komunitas Madinah sebagai pondasi
peradaban Islam yang dapat menguatkan ikatan Anshor (pribumi) dan Muhajirin (pendatang) serta dapat menjamin kebebasan masyarakat lintas agama
dan suku.
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Hijrah ini dikontekstualisasikan
untuk membangun persaudaraan kebangsaan,
bukan meruntuhkan persaudaraan dengan menyemarakkan parade simbol identitas dan
primordial yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Ketua Umum
Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof Dr. Siti
Musdah Mulia, MA, mengatakan bahwa masyarakat kita utamanya umat muslim harus dapat
menjadikan Hijrah
sebagai
momentum untuk membangun
peradaban dengan persaudaaan keislaman dan
persaudaraan kebangsaan. Bukan malah memecah belah
persatuan bangsa. Umat muslim pun harus memahami terlebih dahulu mengenai makna Hijrah
itu sendiri.
“Nabi Muhammad
itu melakukan Hijrah dari Mekkah ke Madinah itu dengan satu harapan ingin
mengubah peradaban manusia, peradaban umat Islam. Jadi kalau ingin mengubah
peradaban itu adalah dengan membangun sesuatu yang lebih baik, lebih positif,
lebih produktif dan lebih konstruktif. Jadi bukan membangun untuk menghancurkan
yang lain,” ujar Prof Dr. Siti Musdah Mulia, MA di Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Lebih lanjut
Musdah menjelaskan, Nabi Muhammad saat itu pindah ke Madinah bukan hanya
membangun peradaban umat Islam saja, tetapi juga membangun peradaban semua umat
manusia. Dimana di Madinah itu Nabi memperkenalkan hidup saling bertoleransi
untuk bisa menerima yang lain. Karena di Madinah itu sendiri tidak seperti di
Mekkah, yang mana di Mekkah sendiri cuma ada satu suku, tidak banyak agama.
“Nah di Madinah
itu benar-benar terlihat banyak kelompok dan hiterogen, karena ada berbeda
suku, berbeda agama yang mana disana ada agama Yahudi, ada Nasrani dan bahkan
Paganisme serta agama lainnya. Tetapi Nabi Muhammad bisa merangkul kelompok
agama yang berbeda itu. Karena Nabi
menerapkan prinsip toleransi di dalam kepemimpinanya,” kata wanita yang juga Ketua
Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) ini.
Hal ini menurut
Musdah sangat penting dalam membangun masyarakat untuk bisa saling menghargai
satu sama lain. “Dan kemudian kita lihat di Madinah itu ada Piagam Madinah .
Jadi saya pikir inilah yang harus dicontoh oleh kita sebagai umat Islam,” kata wanita yang juga Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Namun yang
menjadi masalah dan menurutnya lagi popular dengan Hijrah ini yakni sebelum
hijarah ini orang merasa penuh dengan kesalahan, dosa dan bahkan merasa dirinya
bersalah. Namun giliran orang itu sudah Hijrah, orang tersebut merasa orang
lain yang penuh dosa, sehingga orang tersebut harus men-tobat-tobat kan orang
lain.
“Itu kan keliru
sekali. Tidak seperti itu kondisinya, bukan menyalah-nyalahkan orang lain. Hijrah
itu adalah sebuah tahapan di dalam kehidupan, dimana kita meninggalkan masa
lalu kita dari kondisi yang sebelumnya tidak toleran menjadi toleran. Dari
kondisi yang tidak memiliki nilai-nilai peradaban, lalu bisa membangun kondisi
dimana nilai-nilai keadaban itu diterapkan.. Tidak perlu Hijrah pindah tempat
seperti Nabi,” kata wanita
kelahiran Bone, 3 Maret 1958 ini.
Karena intinya Hijrah
itu menurutnya adalah sebuah perpindahan dari masyarakat yang kurang beradab
menjadi masyarakat yang lebih beradab dengan mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan universal. Karena pada akhirnya manusia beragama itu untuk
kemanusiaan, bukan kepada Tuhan. Karena yang penting agama itu membawa manfaat
bagi sesama seperti dikatakan dalam hadist Khoirunnas
anfa'uhum linnas yang artinya Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lain.
Bahkan dalam
ajaran agama Islam yang Rahmatan Lil
Alamin juga terkandung dalam Surat Al-Anbiya Ayat 107 dikatakan Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn, yang
artinya Kami mengutus kamu (Muhammad), untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
semesta alam.
“Jadi bukan
hanya buat umat Islam saja atau sekedar untuk manusia, tapi untuk semua makhluk
di jagat raya ini. Jadi kita ini benar-benar punya manfaat. Ini yang menurut
saya harus di cermati kembali oleh kita sebagai orang yang mengaku sebagai
pengikut Nabi dan sebagai umat Islam untuk memaknai kembali intisari dari Hijrah
itu,” ucap kata wanita
pertama yang pernah dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset
bidang Lektur Keagamaan ini
Untuk itulah
Musdah meminta kepada masyarakat muslim di Tanah Air ini harus mencontoh
peradaban Madinah di masa lalu itu agar bisa menjalin persaudaraan
keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Karena dengan demikian
dalam konteks kebangsaan, Hijrah itu adalah bagaimana kita menjadikan Indonesia
ini sebagai perekat yang mampu membangun rasa persaudaraan, Ukhuwah.
“Karena yang
diajarkan dalam Islam itu bukan hanya Ukhuwah Islamiyah saja, tetapi juga
Ukhuwah Wathaniayah, saudara se Tanah Air dan juga Ukhuwah basyariah, saudara
sesama manusia. Islam itu ajarannya luas dan lugas yang benar-benar
mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan yang tinggi. Jadi penghargaan dan apresiasi
itu bukan hanya terhadap sesama muslim, tetapi juga kepada sesama manusia. Itu
yang penting dan perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai
umat beragama,” tuturnya..
Untuk itu kata
wanita peraih
Doktoral bidang Pemikiran Politik Islam dari UIN Jakarta ini meminta kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama dan
tokoh politik untuk bisa mengajak umat dan masyarakat untuk berhijrah ke dalam kehidupan yang lebih baik.
Ini agar sesama manusia bisa saling menghargai tanpa adanya ujaran kebencian
yang bisa menimbulkan perpecahan.
“Itu sangat
penting. Bahkan saya membuat buku pedoman dakwah buat para mubaligh bahwa dalam berdakwah itu intinya adalah
mengajak orang kepada kebaikan dengan cara-cara yang santun. Kalau misalnya
dalam suatu komunitas harus berdebat, berdebatnya pun juga dengan cara-cara
yang tidak menyerang dan tidak menimbulkan rasa benci kepada orang yang berbeda.
Nah ini harus dilakukan oleh para para ulama, tokoh masyarakat dan tokoh
politik sebagai panutan masyarakat,” ujarnya.
Karena
menurutnya upaya untuk menguatkan persaudaraan dan kebangsaan di lingkungan
masyarakat dalam negara itu bukan hanya tugas pemerintah saja, tetapi juga
menjadi tugas kita semua sebagai warga negara. Yang mana ini juga bisa
dilakukan dengan melakukan edukasi di masyarakat. Karena prinsip edikasi pendidikan
itu penting dari pendidikan bawah di tingkat keluarga.
“Jadi pendidikan terhadap anak-anak di rumah tangga
itu menjadi kata kunci bagi munculnya perasaan saling menghormati, perasaan
toleransi dan perasaan apresiasi terhadap mereka termasuk mereka yang berbeda
dengan kita,” kata peraih Yap Thiam Hiem Human Rights Award dari Yayasan Pusat
Studi Hak Asasi Manusia pada tahun 2008 ini mengakhiri
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment