Semarang, ZONASATU - Penyebaran radikalisme sudah menyasar ke setiap lapisan insan masyarakat, termasuk dunia pendidkan. Karena itu, para pendidik terutama guru agama memiliki peran vital untuk membentengi anak didik agar tidak terpapar radikalisme.
“Menjadi
sangat penting peran bapak ibu guru agama untuk memberikan pengajaran dan
pemahaman agama yang benar tentang berbagai upaya penyesatan oleh kelompok
radikal seperti membandingkan Pancasila dengan simbol agama,” ujar Direktur
Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Ir.
Hamli, ME, pada dialog “Harmonisasi dari Sekolah” Integrasi Nilai-Nilai Agama dan
Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan di Semarang, Rabu
(30/10/2019).
Untuk
itu, Hamli menilai perlu dilakukan integrasi nilai-nilai agama dan budaya di
sekolah dalam upaya menumbuhkan harmoni kebangsaan menghadapi radikalisme.
Selain itu, metode pengajaran materi pendidikan agama kepada para siswa agar
lebih ditingkatkan agar mereka memahami agamanya dengan baik dan menumbuhkan
rasa toleransi terhadap sesama.
Para
anak didik juga terus diberikan pemahaman bahwa Indonesia itu adalah negara
perjanjian yang terdiri dari berbagai macam agama dan etnis. Selain itu, anak
didik juga harus dijauhkan dari berbagai hal yang berbau radikalisme. Ini
penting sudah banyak fakta masuknya radikalisme ini ke sekolah seperti melalui
buku pelajaran maupun dari para guru.
Ia
mengungkapkan jenis-jenis radikalisme semakin bertambah banyak, meski ukurannya
mengecil. Namun demikian, ajaran mereka tetap sama yaitu menghalalkan
kekerasan. Bahkan mereka juga tidak peduli agama apapun. Kalau dianggap
berbeda, semua harus dihancurkan.
“Geraja
di bom, masjid di bom, vihara di bom.Pokoknya yang berseberangan dihancurkan,”
jelasnya.
Ia
juga menggarisbawahi beberapa kasus terorisme di Indonesia. Seperti kasus bom
Surabaya yang melibatkan satu keluarga bapak, ibu, dan anak melakukan bom bunuh
diri di tiga gereja. Juga kasus bom Sibolga, di mana seorang perempuan terduga
teroris meledakkan diri bersama anaknya.
Karena
itulah, Hamli meminta masyarakat tidak mempercayai propaganda yang mengaitkan
terorisme dengan Islam. Terorisme bukan ajaran Islam dan bisa dilakukan oleh
semua penganut agama. Ia memberikan contoh teror penyerangan dua buah masjid di
Selandia Baru yang memakan 51 korban jiwa dan di Norwegia dilakukan oleh bukan
orang Islam. Juga kasus teror gas sarin di kereta bawah tanah di Jepang.
“Terorisme
faktanya menyakiti semua agama, tapi bukan agamanya, melainkan orang yang
menganut agama itu. Jadi tidak bisa distigmasikan pada satu agama,” tukas
Hamli.
Terkait
penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan, Ia mengutip hasil penelitian
Maarif Institute tentang radikalisme yang masuk ke lingkungan SMA. Dari
penelitian itu, terungkap bahwa radikalisme masuk SMA, pertama melalui
kebijakan sekolah yang diambil kepala sekolah. Kedua melalui guru, dimana kalau
guru terpapar radikalisme, dipastikan akan menyebarkan paham itu ke anak
didiknya. Dan ketiga melalui jalur alumni.
“Guru
agama harus mengetahui ini agar memahami ini agar bisa melakukan deteksi
terhadap anak didik. Apalagi di jaman sekarang, dimana medsos menjadi
‘kendaraan’ bagi mereka untuk menyebarkan pahamnya,” ujarnya.
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment