Yogyakarta, ZONASATU - Tidak ada agama yang mengajarkan
kekerasan. Tidak ada juga agama yang radikal, tetapi cara sebagian orang dalam beragama yang kemudian menyebabkan timbulnya stigma radikal dan ekstrim (ghuluw).
Karena itulah, umat beragama selayaknya tidak marah dengan istilah radikalisme,
tetapi mestinya marah ketika ajaran agama dibajak untuk tindakan radikal.
Wakil Rektor
bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag, mengatakan bahwa kalau
dilihat dari latar belakangnya, radikalisme memang tidak melulu tentang agama. Ada
isu yang diangkat tentang ketidakpuasan terhadap pemerintah dan lain
sebagainya.
“Misalnya kasus yang
menimba mantan Menko Polhukam pak Wiranto, Itu kalau saya baca beritanya ya dia
(pelaku) miskin, rumah aja masih ngontrak, gitu kan. Tapi kemudian dia mengikuti ajaran agama yang tidak
relevan buat hidup dia sendiri, secara sosial ekonomi itu yang kemudian
mendorong dia begitu,” ujar Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag di Yogyakarta, Jumat
(25/10/2019).
Lebih lanjut
Waryono mengatakan, untuk melawan hal-hal tentang pembajakan agama tersebut , manusia juga harus
punya semacam komitmen. Pertama bukan hanya komitmen keagamaan, tetapi juga
purya komitmen kemanusiaan.
“Di sini komitmen
kemanusiaan menurut saya harus lebih banyak dibunyikan, karena akan menjadi argumen
utama bahwa sikap radikal yang tidak memanusiakan manusia itu justru atas nama apapun tetap salah. Disini
kita yang harus marah dan tegas kalau ada yang membajak agama untuk tindakan
radikal. Ini yang menurut saya harus dikedepankan oleh siapapun, terutama
tokoh-tokoh agama dan juga tokoh masyarakat,” tutur pria kelahiran Cirebon, 10
Oktober 1972.
Selain itu pria
yang juga menjadi Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga ini
juga mengatakan bahwa dalam upaya melawan kelompok-kelompok radikal yang sering
menggunakan agama itu ternyata tidak efektif kalau menggunakan jargon Pancasila.
“Justru untuk
melawan jargon-jargon dan narasi mereka tentunya harus kita lawan dengan jargon
agama juga. Bahwa agama yang sesungguhnya itu tidak mengajarkan kekerasan seperti itu. Jadi
ada semacam counter wacana juga, counter discuss ‘Ini tidak benar seperti itu’ dan ‘agama yang benar
mengajarkan kedamaian’, kan seperti itu,” kata mantan Wakil Syuriah Nahdatul
Ulama (NU) Kota Yogyakarta tersebut.
Waryono
menambahkan kalau kelompok-kelompok radikal tersebut yang dari awal sudah anti
NKRI maupun anti Pancasila dan dijawab atau dilawan dengan Pancasila tentu akan
kontraproduktif atau sia-sia saja.
“Jadi harus kita
jawab dengan jargon agama yang mereka juga pakai agama. Kalau mereka itu sudah
anti NKRI maupun anti Pancasila lalu malah kita suguhi dengan Pancasila, ya
makin resisten. Tetapi tentunya yang melawan pun juga harus memiliki ilmu agama
yang cukup mumpuni juga. Jangan sampai ilmu agamanya pas-pasan lalu kalah sama
kelompok itu,” tuturnya.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Rektor bidang
Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan di kampus yang sama ini menuturkan bahwa peran lembaga pendidikan juga
memiliki peranan yang sangat penting sekali untuk menangkal paham radikal.
Karena di lembaga pendidikan itu ada guru, ada dosen yang akan memberikan
pelajaran kepada anak didiknya.
“Tetapi harus
dipastikan pula bahwa para pendidik ini jauh dan tidak terpapar dari paham-paham
radikalisme dan terorisme tersebut. Karena ternyata Kemendikbud dulu misalnya juga
pernah kecolongan saat ada buku yang mengajarkan radikalisme. Jangan samapai
hal itu terjadi lagi. Pendidikan itu penting tetapi yang harus dilihat itu juga system, guru atau tenaga pendidik, buku-bukunya
dan juga kurikulumnya,” ungkapnya.
Selama ini dirinya
melihat pemerintah kurang dalam bersinergi menagkal radikalisme ini dan hanya
sekedar menjadi ‘Project’. Tetapi harus menjadi
kesadaran bersama bahwa radikalisme terorisme itu berbahaya sama seperti
bahayanya korupsi. Dirinya mencontohkan kalau masalah radikalisme dan terorisme
ini hanya ditangani BNPT saja dengan seberapa pun besarnya anggaran yang
dikucurkan tetap saja kuwalahan.
“Karena menurut saya
juga harus berbagai pendekatan yang harus ditempuh. Misalnya Kemneterian Pembangunan
Desa Tertinggal, maka bagaimana mereka harus bisa menyatu dengan masyarakat
desa. Karena nyatanya juga kelompok-kelompok teroris itu saya amati sekarang
ini banyak yang sudah ada di desa-desa,”
ujarnya.
Untuk itu, pria yang juga pernah menjadi Dekan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ini juga meminta kepada seluruh pihak yang
berkompeten di dalam maslaah tersebut untuk dapat memberikan program pencerahan
terkait radikalisme kepada masyarakat itu bisa sampai ke bawah.
“Padahal di
kampung itu ada rapat RT, rapat RW.
Padahal itu sangat efektif kalau dimanfaatlam untuk memberikan pencerahan
kepada masyarakat. Masyarakat harus diberikan pengertian untuk mewaspasdai terhadap
penyebaran paham-paham radikal itu yang menyusup dengan membajak agama. Masih
banyak masyarakat yang belum mengerti tentang itu karena kurangnya memberikan
pencerahan kebawah,” katanya mengakhiri.
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : Ist |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment