Jakarta, ZONASATU - Pasca berakhirnya orde baru, bangsa ini telah merayakan kembali kebebasan
berekspresi melalui reformasi setelah lama terkungkung dalam dominasi dan
hegemoni negara. Namun kebebasan yang
terjadi justru dimaknai berlebihan oleh sebagian orang.
Kebebasan berekspresi sejatinya juga
menghargai hak dasar orang lain. Sedangkan kebebasan yang berlebihan saat ini justru
melahirkan intoleransi yang tidak bisa menerima perbedaan itu. Dan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tentunya
bisa dijadikan sebagai acuan dan senjata ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk melawan intoleransi
itu.
“Jadi kita harus mengembalikan kembali Pancasila
sebagai alat, sebagai ideologi bangsa. Pancasila itu harus menjadi acuan dari
cara berifikir, bertindak, bernalar, berelasi semua anak-anak bangsa itu agar
tidak terjadi yang namanya intoleransi,” ujar Staf Khusus Dewan
Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo, Pr, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Dengan memagang teguh pada
Pancasila itulah Benny meminta seluruh
elemen masyarakat untuk terus bersatu melawan dan menolak adanya intoleransi yang
terjadi disekitarnya. Dimana intoleransi itu sendiri kalau dibiarkan berkembang
di masyarakat justru dapat menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini.
“Masyarakat harus berani menolak
penyebaran kebencian yang menyebarkan bibit-bibit permusuhan yang bisa merusak
persatuan bangsa. Biasanya intoleransi itu muncul dari ujaran kebencian. Kalau
itu terjadi masyarakat harus laporkan hal itu kepada pihak berwajib ketika
konten-kontennya berisi ujaran kebencian tersebut muncul. Jangan didiamkan,”
tutur Pria Kelahiran Malang 10 Oktober 1968 terebut.
Lebih lanjut Benny mengungkapkan bahwa
penanaman nilai-nilai Pancasila itu dapat menjadi acuan hidup sehari-hari di
masyarakat sangat penting untuk menghindarkan bangsa ini dari intoleransi.
“Harus ada pendidikan nilai-nilai
Pancasila, baik di dalam pendidikan nilai-nilai sekolah, nilai keluarga, nilai
masyarakat. Karena sejatinya itu adalah tradisi yang telah lama ada di masyarakat indonesia, seperti
saling respect, kemudian gotong
royong serta guyub rukun bersaudara. Jadikan itu sebagai acuan hidup di
masyarakat” jelas Romo Benny.
Oleh karena itu menurut Benny perlu
peran serta pemerintah dan pejabat terkait untuk memberikan contoh keteladan
kepada masyarakat dalam menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya.
“Pejabat publik harus menyerukan bahwa
kita ini adalah bangsa yang sejak awal terdiri dari ribuan etnis, suku dan
agama serta agama-agama lokal juga. Maka kemudian perlu contoh keteladan misal
dari kepala daerah untuk mempraktekkan. Maka kepala daerah harus konsisten
menjalankan pancasila itu. dan itu harus dilakukan terus menerus sebagai
contoh,” tutur anggota Gerakan Suluh Kebangsaan itu.
Selain itu pria yang juga Rohaniawan ini
juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan tidak boleh
ragu-ragu dalam menghadapi intoleransi. Karena hal ini sebagai upaya untuk
melindungi masyarakat yang merasa terancam dari adanya ujaran kebencian itu Dirinya memberikan contoh intoleransi itu
tentang ancaman yang berkaitan dengan kebebasan masyarakat untuk berkeyakinan
dan beragama.
“Jadi ketika ada orang yang melakukan
ancaman, intimidasi dan dengan sengaja melarang kebebasan beragama orang lain,
polisi harus bertindak karena itu sudah mengganggu ketertiban umum. Karena
Pancasila menjamin setiap orang untuk mengekspresikan keagamaannya, dan negara
menjamin setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan itu harus itu
dihormati,” kata Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya
Sasana Malang tahun 1996 ini.
Benny juga mengatakan bahwa perlunya
sosialisasi dari pemerintah terkait peraturan-peraturan yang ada, sehingga bisa
meminimalisir terjadinya gesekan di masyarakat.
“Misalnya peraturan PBM (Peraturan
Bersama Menteri) tentang peraturan pendirian rumah ibadat. Itu jelas bahwa yang
namanya pendirian rumah ibadat keluarga itu tidak perlu ijin. Seperti kasus di Bantul
itu (kasus penolakan pendirian gereja) tidak perlu terjadi karena itu ibadat
keluarga, bukan ibadat permanen. Yang ijin itu ibadat permanen seperti
pendirian masjid, gereja, pura dan sebagainya. Tapi kalau orang kebaktian
dirumah itu tidak perlu ijin,” tegasnya.
Hal tersebut menurutnya juga tertuang dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 tentang hak-hak kewarganegaraan untuk bebas
beragama. Dimana masih banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai hal tersebut
sehingga perlu adanya sosialisasi kembali.
“Harus ada sosialisasi Karena itu hak
setiap orang untuk berdoa, selamatan, memperingati hari ulang tahun, kematian.
Misalnya di muslim ada kebiasaan tahlilan, kristen punya kebiasaan misa
keluarga. Itu tidak ada masalah. Itu hak yang dijamin oleh UUD 1945 yaitu pasal 29 itu,” ujarnya mengakhiri.
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment