Jakarta, ZONASATU - Institusi pendidikan seharusnya merupakan ruang sosial yang tidak hanya untuk transfer pengetahuan tetapi juga untuk pembinaan karakter. Namun wabah intoleransi dan radikalisme masih menjadi PR berat dalam dunia pendidikan, terutama di tingkat sekolah. Karenanya, kasus intoleransi di sekolah perlu menjadi perhatian serius.
Ketua Lembaga
Konsultasi untuk Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A) Pengurus
Pusat Fatayat NU, Riri Khariroh, MA menjelaskan bahwa untuk mengikis bibit
intoleransi salah satunya adalah dengan melakukan peninjauan terhadap
kurikulumnya.
“Pertama yang
perlu ditinjau adalah kurikulum formalnya seperti apa. Apakah bahan ajar yang
ada itu mengandung materi yang bisa menyebabkan siswa itu kemudian menjadi
intoleran. Karena selama ini kan bahan ajar ini sudah melewati screeaning yang
cukup panjang, tetapi kadang-kadang justru yang lolos dan ditemukan dilapangan itu adalah bukan bahan
ajar nya, tapi bacaan pendampingnya, ujar Riri Khariroh, MA, di Jakarta, Senin
(20/1/2020).
Namun demikian,
menurutnya selain kontrol terhadap kurikulum pendidikan, tentunya penting juga
untuk mewaspadai para guru atau tenaga pendidik agar tidak mengajarkan hal-hal
yang bisa mengarah ke intoleransi. Karena kalaupun bukunya sudah baik, tetapi
kalau yang menyampaikan atau dalam ini adalah guru yang memiliki perspektif
yang intoleran, maka justru itu yang akan ditransfer kepada murid-muridnya. Karena
murid itu akan cenderung mengikuti apa yang dikatakan gurunya.
“Karena kalau
gurunya bilang A, maka pasti muridnya juga akan mengikutinya. Nah menurut saya
ini justru yang harus terus diawasi, bagaimana perspektif guru terkait dengan
isu-isu intoleransi maupun radikalisme itu sendiri,” tutur wanita yang
merupakan Komisoner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan
periode 2015-2019 ini menegaskan.
Oleh karena itu
menurut Riri, perlu adanya upaya-upaya untuk mengikis benih intoleransi di
sekolah seperti kampanye-kampanye perdamaian dan multikulturalisme. Karena
sekolah yang lokasinya bukan di kota besar biasanya homogen sehingga murid
jarang mengenal yang misalnya di luar keimanan dia atau di luar sukunya dia.
“Jadi menurut
saya penting untuk para pendidik itu membuka ruang seluas-luasnya buat anak
didiknya untuk membuat ruang perjumpaan antara mereka yang berbeda-beda.
Tujuannya tentu supaya anak didik ini mengerti bagaimana menghargai dan
menghormati orang teman mereka yang berbeda. Sehingga sekolah itu tidak boleh
eksklusif hanya untuk kelompok tertentu,” kata peraih gelar Master dari Center
for International Studies, Universitas Ohio, Amerika itu.
Riri juga
mengungkapkan bahwa sebenarnya ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan timbulnya
intoleransi di sekolah, salah satunya melalui Rohis. Karena dalam beberapa
kasus Rohis itu banyak dipegang oleh
alumni-alumni sekolah itu yang ada di luar tapi mereka kemudian kembali
melakukan monitoring terhadap adik-adiknya. Nah dari sini kadang-kadang pihak
sekolah itu tidak mengontrol dan tidak sadar bahwa ada Rohis yang terpapar radikalisme, meski tidak semua.
“Sebenanrya
pengaruh dari para alumni terhadap kegiatan yang sifatnya ektra, karena
kegiatan yang sifatnya wajib biasanya alumni tidak bisa untuk ikut intervensi.
Jadi bisa melalui ekskul, kemudian melalui Rohis atau misalnya pengajian
bulanan. Nah itu yang harus mendapatkan perhatian dari pihak sekolah untuk
terus melakukan kontrol. Sekolah harus tahu sebenanrya alumni ini mengajarkan
apa,” ujarnya.
Karena
menurutnya, ada banyak alumni-alumni dari masing-masing sekolah yang mempunyai
misi untuk melakukan 'transfer' ideologi yang selama ini mereka pegangi agar
itu bisa di internalisasi oleh para yunior-yunior di sekolahnya dulu. Apalagi
kalau sekolah ini melihat alumninya tersebut mungkin sukses di berbagai bidang
atau seperti bisa dijadikan role model, sehingga sekolah kadang kurang
memperhatikan apa misi-misi dari para alumninya tersebut
“Nah itu yang
harusnya pihak sekolah ikut mengontrol apakah alumni itu memberikan dampak yang
positif dalam arti membuat misalnya anak-anak sekolah itu menjadi lebih
aktif, lebih toleran dan sebagainya
ataukah justru malah para alumni ini mengajarkan misalnya ideologi-ideologi
yang bertentangan dengan kemajemukan dan juga keberagaman yang ada di
Indonesia,” kata Riri.
Tidak hanya
melalui Rohis semata, dikatakan Riri, dari pengalaman yang pernah dia alami,
infiltrasi intoleransi di dunia pendidikan juga bisa terjadi melalui forum
orang tua murid yang melakukan forum-forum seperti pengajian.
“Dari pengalaman
pribadi saya rupanya forum seperti ini juga digunakan untuk menyebarkan benih
intoleransi. Pertamanya mengadakan pengajian rutin reguler untuk orang orang
tua murid, tapi setelah beberapa waktu materi ceramahnya menjurus ke
intoleransi dan itu ternyata bukan di lingkungan sekolah anak saya saja, banyak
juga yang lain yang seperti itu,” ungkap wanita kelahiran Rembang, 5 Desember
1979 ini
Oleh sebab itu,
terkait kasus intoleransi di sekolah yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini
perlu menjadi perhatian besama. Karena seperti kasus siswa/siswi yang dilarang
mengucapkan selamat ulang tahun terhadap lawan jenis itu tidak seharusnya
dibawa ke agama. Karena sejatinya mengucapkan selamat ulang tahun itu sejatinya
soal relasi kemanusiaan sebagai seorang sahabat ataupun sebagai seorang teman.
“Kalau kita
ulang tahun kemudian kita ada yang mengingat, apalagi mendoakan. Karena ucapan
ulang tahun semua isinya doa, semoga panjang umur, semoga sehat, tambah
rezekinya, kan selalu seperti itu, itu kan doa,” ujarnya.
Karena
menruutnya membuat larangan mengucapkan selamat ulang tahun terhadap lawan
jenis dengan membawa-bawa agama tentunya orang menjadi beragama yang sangat
dangkal . Karena hal tersebut bukanlah inti agama. Karena inti agama itu yakni
ketakwaan, hubungan habluminallah dan habluminannas. Dan ulang tahun ini
adalah habluminannas.
Menurut Riri,
kalau hal seperti itu disempitkan ke agama malah justru sangat menghawatirkan,
yang kemudian orang bisa menjadi anti agama.
“Karena agama ini dianggap kok mengekang sekali begini saja tidak boleh
dan segala macam. Apalagi untuk anak
muda, dia bisa menjadi apatis dengan
agama. Begitupun soal jilbab itu juga seperti itu, jika mengikuti aturannya di
Peraturan Menteri (Permen) itu sebenarnya adalah pilihan dan tidak wajib,”
ujarnya.
Untuk itu
menurutnya, Pemerintah sebagai regulator perlu untuk memberikan payung hukum
yang jelas bagi institusi pendidikan khususnya di daerah-daerah. Perlu juga
upaya-upaya pencegahan secara sistematis melalui kurikulum yang lebih mengarah
kepada pendidikan karakter.
“Perlu juga
ketegasan dari pemerintah dalam hal ini agar benih intoleransi tidak semakin
menyebar di dunia pendidikan kita. Jadi kalau ada praktek di sekolah yang
mengajarkan intoleransi atau radikalisme itu perlu ada sanksi tegas pemerintah,
karena dengan adanya sanksi baru orang takut untuk berbuat,” ujar Riri
mengakhiri.
Editor | : - |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment