Jakarta, ZONASATU - Pendidikan merupakan proses transfer pengetahuan dari pendidik ke anak didik selain pengetahuan diperlukan juga pembinaan karakter bagi generasi muda agar tidak salah menerapkan ilmunya. Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan oleh dunia pendidikan adalah penghargaan terhadap keragaman.
Pengamat
Pendidikan Nasional, Darmaningtyas mengatakan bahwa mengikis intoleran di dalam dunia pendidikan membutuhkan
pendekatan yang komprehensif dan sistimatis kepada semua pihak termasuk tehadap para guru dan murid.
“Saya kira kita
memerlukan pendekatan sistemik karena penyebarannya ini sudah terjadi sejak
lama. Mahasiswa pada tahun 80-an kesini ini banyak yang menjadi guru itu kan
kebanyakan sudah masuk ke kelompok kelompok yang bisa dikatakan garis keras.
Ketika menjadi guru, mereka menularkan pandangan-pandangannya kepada
murid-muridnya. Beda halnya kalau sebelum tahun 80-an yang mana tenaga pendidik atau
guru-gurunya itu sudah lama dan belum terkontaminasi dengan paham paham radikal
pada saat kuliah. Itu dari segi guru atau pengajarnya,” ujar Darmaningtyas di
Jakarta, Kamis (23/1/2019).
Lebih lanjut Darmaningtyas
mengungkapkan bahwa mulai pada tahun1980-an ini mulai terjadi proses
formalisasi agama (agamanisasi) di lingkungan sekolah. Dan ini bukan hanya
dalam pelajaran agamanya saja, tetapi
juga dalam praktek keseharian. Kemudian pasca reformasi mulai banyak
sekolah-sekolah yang berkaitan dengan agama bermunculan yang didirikan oleh kelompok
agama ataupun partai politik. Hal inilah yang berakibat munculnya bibit-bibit
intoleransi secara masif.
“Dimana
sekolah-sekolah itu pahannya berbeda sekali dengan paham kebangsaan yang
seharusnya paham kebangsaan ini harus terus dikembangkan di sekolah-sekolah
negeri. Apalagi kemudian ada Rohis (Rohani Islam) yang mentornya bukan guru
agama melainkan dari para alumni yang sudah menjadi mahasiswa. Sudah rumit,
tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh banyak orang,” tutur Alumni
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta tersebut.
Darmaningtyas juga
menyampaikan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya intoleransi di dunia
pendidikan. Seperti soal pemahaman terhadap ayat-ayat yang ada di dalam Al
Quran dan lain sebagainya. Lalu yang menurutnbya sejak tahun 90-an kesadaran masyarakat untuk beragama dan
memahami agamanya itu mulai terlihat meningkat.
“Contohnya kalau sebelum tahun 90-an itu mungkin kita mendapatkan
mahasiswi atau siswi yang berjilbab itu sangat jarang. Tetapi kalau sekarang
kita banyak mendapatkan dan menjumpai mahasiswi
atau murid wanita yang berjilbab.
Artinya apa ? Kesadaran indidu masyarakat untuk beragama itu meningkat,” ujarnya.
Namun demikian
menurutnya dalam proses peningkatan kesadaran beragamnya itu itu tentu ada yang
pemahaman agamanya itu berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang. “Dalam artian
masing-masing orang itu berbeda-beda
terhadap keyakinan atau terhadap ayat-ayatnya.
Nah itulah yang terjadi hingga hari ini,” kata pria yang juga anggota Dewan
Penasehat CBE (Center for the betterment of Education) itu.
Dalam kesempatan
tersebut Darmaningtyas juga menanggapi terkait berita yang ramaidiperbincangkan
terkait ada sekolah yang mengeluarkan siswanya karena mengucapkan selamat ulang
tahun kepada siwa yang berlainan jenis.
Meskipun kejadian
itu terjadi di sekolah swasta, namun menurutnya peraturan sekolahnya itu
sendiri juga harus dikritisi, Karena mengucapkan selamat menurutnya, baik itu disampaikan terhadap lawan jenis
meskipun berbeda suku, agama adalah suatu tindakan kebaikan yang tentunya harus
dikembangkan di sekolah-sekolah.
“Jangan malah siswa
yang berbuat baik malah dikenai sanksi. Karena produk atau lulusan dari sekolah
swasta itu nanti juga akan terjun ke masyarakat. Kalau kemudian pemahaman
menjadi sempit tentunya nanti sebagiaan masyarakat juga akan memiliki pemahaman
yang terlalu sempit,” ujar Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)
periode 2010-2012)
Selain itu untuk
menangkal intoleransi yang ada dan tumbuh di lingkungan sekolah negeri, , pria kelahiran
Gunung Kidul, 9 September 1962 ini juga menyampaikan bahwa sekolah negeri harus
memiliki ruang yang terbuka terhadap siapaun. Hal tersebut terlihat di masa
sebelum tahun 2000-an, di mana sekolah negeri itu menjadi pilihan utama para
orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya tanpa ada hambatan-hambatan terkait
soal agama, soal ras, golongan dan sebagainya.
“Jadi sekolah
negeri pada jaman dahulu itu adalah benar-benar sekolah kebangsaan. Jadi mestinya
roh kebangsaan itu dijaga oleh sekolah itu. Karena itu sekolah negeri sudah
sementinya tidak boleh ada aturan aturan yang bersikap diskriminatif atau
ekslusif,” ujarnya.
Hal ini tentunya
berbeda dengan sekolah swasta, yang mana hal itu memang menjadi otonomi sekolah
itu sendiri. Namun dalam hal mengucapkan selamat ulang tahun,hari besar
keagamaan dan sebagainya merupakan suatu kebaikan.
“Dimana kebaikan
itu sudah semestinya harus ditanamkan di
sekolah. Jadi kalau ada sekolah yang mengajarkan tidak baik, tentunya justru
harus kita pertanyakan.” ucap pria yang juga Pengurus Persatuan Keluarga Besar
Tamansiswa (PKBTS) Yogyakarta itu.
Oleh sebab itu
menurutnya pemerintah juga harus berani untuk bertindak tegas seperti seperti
dengan melakukan monitoring secara serius, termasuk kurikulumnya dan juga cara
guru-gurunya dalam memberikan pengajaran kepada muridnya.
“Pemerintah
selama ini kan tidak berani tegas, padahal hal seperti ini (intoleransi) tidak
boleh sampai masuk ke ranah pendidikan dengan membawa-bawa agama atau politik
lainnya. Karena kalau hal itu diperbolehkan maka kita akan susah untuk mencari
penyelesaiannya. Karena kalau agama ini dipakai menjadi kendaraan politik
individu atau parpol atau kelompok tertentu di dalam dunia pendidikan, maka
sikap-sikap intoleran itu akan tumbuh,” ungkapnya
Menurutnya, banyak cara yang bisa dilakukan oleh
pemerintah untuk bersikap tegas jika ada sekolah yang terbukti cenderung mengajarkan
eksklusivisme, misalnya seperti melakukan penutupan namun dengan tidak
mengorbankan para siswa yang masih menempuh pendidikan di sekolah tersebut.
“Jadi caranya,
misalnya siswa yang sekolah disitu ya tetap dipertahankan sampai lulus, tidak
langsung ditutup. Tetapi sekolah itu tidak boleh menerima siswa baru. Jadi
tidak ada yang dikorbankan. Atau
ditampung di sekolah lain. Memang pasti dilematis karena pemerintah akan
dihajar oleh berbagai pihak tetapi itu harus dilakukan,” ujarnya mengakhiri
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a comment